PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA
A.
Latar Belakang
Sebagai hukum yang bersifat publik,
hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia.
Bagaimana tidak, di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang
menentukan perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai
ancaman berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat
dijatuhkan.[1]
Sifat publik yang dimiliki hukum
pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan
demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara
Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali digambarkan
sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan
nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru
memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena
itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra
hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana
itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum
pidana dengan masyarakat di mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi
salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana
dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki
masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak
sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
wacana di atas dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
2.
Bagaimanakah nilai-nilai pembaharuan
KUHP dimasa yang akan datang ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Persoalan Kekurangan Dan Ketidak Sempurnaan KUHP Dalam Hukum
Positif Di Indonesia
Hukum pidana Indonesia merupakan
warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan penjajahan atas Indonesia. Jika
Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945,
maka selayaknya hukum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia
sendiri. Namun idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum
pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan
Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini
jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Problematika KUHP antara lain
sebagai berikut:
1.
Kemerdekaan Indonesia yang telah
diproklamirkan sejak 59 tahun lalu merupakan awal pendobrakan hukum kolonial
menjadi hukum yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum pidana
positif (KUHP) Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Secara politis ini
menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.[2][2] Dengan kata lain, walaupun
Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa
melepaskan diri dari penjajahan.
2.
Wetboek van Strafrecht atau bisa
disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak
tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP
dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah
berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang
dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi
KUHP ini. Namun demikian, perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial
dari KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak
mengalami perkembangan.
3.
Wujud asli hukum pidana Indonesia
adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut
dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa
Belanda. KUHP yang beredar di pasaran
adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum
pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R.
Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan
Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu,
sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.
4.
KUHP warisan kolonial Belanda memang
memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman
Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System)
atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano
Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran
individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual
right). Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung
tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap
berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan
menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
5.
Jika KUHP dilihat dari tiga sisi
masalah dasar[3][3] dalam hukum pidana, yaitu pidana,
tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP
antara lain:
a.
Pidana
KUHP tidak menyebutkan tujuan dan
pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan
tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat
kaku dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada
perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP juga
lebih kaku sehingga tidak memberi keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana
yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis
pidana, pelaksanaan pidana pidana mati, pidana denda, pidana penjara, dan
pidana bagi anak. [4][4]
b.
Tindak pidana
Dalam menetapkan dasar patut
dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan
dengan undang-undang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak
memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak
tertulis dalam perundang-undangan.[5][5] Di samping itu, KUHP menganut pada
Daadstrafrecht yaitu hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini
pada sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek
perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).[6][6] KUHP masih menganut pada pembedaan
kejahatan dan pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidana
tindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber
criminal, lingkungan hidup, dan beberapa perbuatan yang menurut hukum adat
dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu,
secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c.
Pertanggungjawaban pidana
Beberapa masalah yang muncul dalam
aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas kesalahan
(culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya
disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.[7][7] Asas culpabilitas merupakan
penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang
berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah
melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif
terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas
culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait dengan
pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47) adalah mereka
yang berumur di bawah 16 tahun.
Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan
pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan beberapa alternatif yang dapat
diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah anak di bawah umur 16 tahun.[8][8] Selain itu, KUHP tidak menyebutkan
pertanggungjawaban pidana korporasi. Pada dataran realitas, sering kali
beberapa tindak pidana terkait dengan korporasi seperti pencemaran lingkungan.[9][9]
B.
Nilai-Nilai Pembaharuan KUHP Dimasa Yang Akan Datang
Perancang UU merumuskan ke dalam Buku I semua hal yang
berkaitan dengan asas-asas umum hukum pidana. Mulai dari asas legalitas,
kesalahan, pertanggungjawaban pidana, alasan pemaaf, hingga kepada pemidanaan.
Perancang UU mengintroduksi beberapa konsep baru di dalam Buku I ini, antara
lain, dimasukkannya pertanggungjawaban pidana perusahaan (corporate criminal
responsibility) dan diterapkannya asas ‘vicarious liability’.
Tetapi yang menarik adalah, perancang memasukan ketentuan
mengenai berlakunya hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam
RUU ini. Dengan memasukkan ketentuan ini, maka asas legalitas (principle of
legality) dapat dikesampingkan. Artinya, dengan rumusan ini, maka pasal 1
(1) RUU KUHP tidak berlaku secara absolut, tetapi dapat diterobos dengan
berlakunya hukum adat seperti ditegaskan pada pasal 1 (3) yang menyatakan:
”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan”.8 Asas legalitas yang bermakna nullum
delictum, noella poena sine praevia lege poenali (tiada delik, tiada pidana
tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dulu) dipandang sebagai palladium
(safeguard) negara hukum. Asas ini merupakan penghubung antara rule
of law dan Hukum Pidana, yang penyampingannya hanya dapat dibenarkan dalam
keadaan darurat saja. Tetapi asas legalitas ini telah kehilangan maknanya
sebagai safeguard terhadap Negara Hukum. Kata lainnya adalah konsep Rule
of Law telah kehilangan signifikansinya dengan adanya ketentuan pasal 1 (3)
RUU KUHP. Sebab di luar tindak pidana yang di atur dalam RUU ini, terdapat
tindak pidana lain yang tak tertulis yang berlaku bagi setiap orang di
Indonesia, yang tidak dapat diperkirakan ketentuannya (unpredictable).
Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) terhadap hukum
pidana. Yang kita kuatirkan adalah,
disalahgunakannya ketentuan ini oleh aparat penegak hukum dan
masyarakat.
Selain itu dalam Buku I ini juga diatur mengenai jenis-jenis
pidana. Sama seperti KUHP yang berlaku saat ini, RUU masih mempertahankan
jenis-jenis pidana yang ada dalam KUHP selama ini, yakni pidana pokok, pidana
mati, dan pidana tambahan (Pasal 60 ayat 1 RUU KUHP). Tetapi tidak begitu jelas
paradigma yang dianut perancang UU dalam merumuskan kebijakan pemidanaan ini,
apakah bertolak dari paradigma distributive atau restorative,
atau bahkan bertolak dari paradigma utilities.
Yang menarik adalah tetap dipertahankannya hukuman mati (capital
punishment) sebagai sebagai pidana terberat. Tidak kurang dari 13 pasal
yang mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidananya. Perancang
undang-undang tampaknya tidak terganggu sedikitpun dengan Amandemen ke-2 UUD,
yang menegaskan jaminan konstitusional terhadap hak atas hidup (right to
life). Bahkan UUD menyebutkan hak ini sebagai hak asasi yang tidak dapat
dikurangi dalam kondisi apa pun, dan dengan alasan apa pun (non derogable
rights). Karena itu jelas, ketentuan ini bertentangan dengan konstitusi.
Dalam pembaharuan tindak pidana pada Buku II perancang
undang-undang mulai merumuskan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai
tindak pidana (kriminalisasi). Tindak pidana apa saja yang dimasukkan dalam RUU
ini. Perancang UU masih mempertahankan sebagian besar jenis-jenis tindak pidana
yang terdapat di dalam KUHP lama, begitu juga pengklasifikasiannya. Misalnya
tindak pidana makar, diklasifikasi ke dalam ‘tindak pidana terhadap keamanan
negara’(crime against State). Tetapi pengelompokkan yang dibuat terlihat
ada yang kurang tepat, misalnya memasukkan tindak pidana terorisme ke dalam
klasifikasi tindak pidana terhadap keamanan negara. Jelas ini kurang tepat,
karena sasaran serangan teroris bukan hanya tertuju pada keamanan negara tetapi
lebih luas dari itu, yakni keamanan manusia (human security). Kejahatan
terorisme adalah kejahatan serius yang merupakan musuh umat manusia, yang
karena itu tidak dapat disetarakan dengan tindak pidana makar atau tidak pidana
terhadap pertahanan dan keamanan negara.
Disamping mempertahankan tindak pidana yang sudah ada dalam
KUHP lama, RUU ini memasukkan pula jenis-jenis tindak pidana baru. Tindak
pidana baru tersebut, antara lain:
1.
Tindak pidana terhadap ideologi
negara;
2.
Tindak pidana terorisme;
3.
Tindak pidana pelanggaran hak asasi
manusia yang berat;
4.
Tindak pidana penyiksaan;
5.
Tindak pidana kesusilaan dan
pornografi;
6.
Tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga;
7.
Tindak pidana perdagangan manusia;
8.
Tindak pidana oleh pers;
9.
Tindak pidana lingkungan
10. Tindak pidana terhadap peradilan
Tetapi seperti sudah disinggung di atas, pengklafikasian
tindak-tindak pidana tersebut ke dalam satu bab tertentu seringkali kurang
tepat. Disamping contoh yang sudah disajikan di atas, kita bisa ambil contoh
lainnya. Mari kita ambil, tindak pidana yang diklasifikasikan ke dalam tindak
pidana terhadap kewajiban dan hak kewarganegaraan, yang isinya ternyata tindak
pidana terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat dan tindak pidana terhadap Pemilihan
Umum.
Beberapa tindak pidana baru yang dirumuskan di atas, menurut
pandangan kami memang relevan dan tepat dikategorikan sebagai tindak pidana.
Tetapi terdapat beberapa tindak pidana “baru” yang dirumuskan terlihat sudah
terlalu jauh masuk ke wilayah paling personal orang (privacy rights)
yang berada dalam domain civil liberties, seperti kekebebasan berpikir,
kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi, kebebasan beragama, dan
kebebasan privat lainnya. Selain itu terlihat, perumusan tindak pidana “baru”
telah mencampur-aduk antara moralitas, dosa, adab kesopanan, dengan norma
hukum, akibatnya hampir-hampir semua perbuatan dimasukkan sebagai tindak pidana
seperti memberi salam dengan ciuman (yang tentunya dilakukan di depan umum).
Kriminalisasi atas perbuatan-perbuatan tersebut bisa jadi
akan meningkatkan gejala ‘victimless crime’, selain terampasnya
kebebasan fundamental atau civil liberties yang dijamin Konstitusi. Hak
politik yang paling dasar ini berpotensi dilanggar dengan ketentuan mengenai
“tindak pidana terhadap ideologi negara” yang terdapat dalam Bab I tentang
Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara. Persisnya bunyi ketentuannya adalah:
“barangsiapa secara melawan hukum menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk, dan perwujudannya” dan
“setiap orang yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras
menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme- dapat dipidana”. Menurut
perancang, ketentuan ini dimasukkan sebagai konsekuensi dari TAP MPRS No. XXV
/1966 mengenai larangan penyebarluasan paham Komunisme dan Marxisme/Leninisme
di Indonesia.. Tetapi menurut kami, dimasukkannya ketentuan ini sebagai tindak
pidana lebih menunjukkan diakomodasinya kepentingan politik negara (yang
diwariskan rezim politik Orde Baru), ketimbang mengakomodasi penghormatan
terhadap hak asasi manusia dan civil liberties.
Pada sisi yang lain, kriminalisasi atas pemikiran tersebut
pada gilirannya berimplikasi pada ketidakpatuhan Negara pada kewajiban
internasionalnya dalam melindungi hak asasi manusia internasional. Seperti
diketahui, hak atas kebebasan berpikir merupakan salah satu sendi terpenting
rezim hak asasi manusia internasional, yang dengan demikian memberikan
kewajiban kepada Negara untuk menghormatinya. Karena itu, jika RUU ini nanti
disahkan DPR tanpa revisi atas hal ini, maka Negara di sini telah melakukan
pelanggaran atas kewajibannya untuk menghormati hak asasi manusia (obligation
to respects). Pelanggaran dalam bentuk ini biasanya dikategorikan ke dalam
pelanggaran atas obligation of conduct, dimana Negara melalui proses
legislasi telah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma internasional hak
asasi manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Problematika KUHP antara lain hukum
pidana positif (KUHP) Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, KUHP dapat
dianggap telah usang dan sangat tua, wujud asli hukum pidana Indonesia adalah
Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan
KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda, KUHP
warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa
Indonesia, KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau
penegak hukum yang lain dan dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan,
KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas
legalitas formil).
2.
Nilai-nilai pembaharuan hukum pidana
antara lain diadopsinya asas-asas hukum adat, dimasukkannya pertanggungjawaban
pidana perusahaan (corporate criminal responsibility) dan diterapkannya
asas ‘vicarious liability’. Dalam pembaharuan tindal pidana pada Buku II
perancang undang-undang mulai merumuskan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan
sebagai tindak pidana (kriminalisasi). Tindak pidana apa saja yang dimasukkan
dalam RUU ini. Perancang UU masih mempertahankan sebagian besar jenis-jenis
tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP lama, begitu juga
pengklasifikasiannya.
B.
Saran
Pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah sebuah keharusan
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Problematika yang muncul terkait dengan
usangnya KUHP secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang kuat
dari masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan
kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah dan
pemikiran bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, RUU KUHP yang sudah
kesekian kalinya direvisi selayaknya segera dibahas oleh lembaga legislatif
untuk disahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Bina Cipta. Bandung.
Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.
Jakarta.
Muladi. 1997. "Perbandingan
Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di Indonesia". dalam Hak Asasi
Manusia. Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang.
Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan
Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan. Liberty. Yogyakarta.
Saleh, Roeslan. 1984.
"Tentang Tindak Pidana dan
Pertanggungan Jawab Pidana". BPHN. Jakarta.
Sudarto. 1981. Hukum
dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
-----------. 1981. Hukum
Pidana I. Yayasan Sudarto. Semarang.
[4][4] Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 45.
[6][6] Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di
Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hal. 152.
[9][9] Roeslan Saleh, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab
Pidana", BPHN, Jakarta, 1984, hal. 48-53